TangerangMerdeka – Lembaga Kerja Sama Tripartit Daerah (LKS Tripda) Provinsi Banten Unsur Serikat Pekerja bersepakat menolak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan Penyelenggaraan Tapera.
Penolakan tersebut merupakan hasil dari Forum Group Discussion (FGD) yang disepakati oleh perwakilan perangkat organisasi serikat pekerja se-Banten di Hotel Istana Nelayan, Jatiuwung, Kota Tangerang, Selasa, 2 Juli 2024.
Wakil Ketua LKS Tripda Banten Dedi Sudarajat menegaskan bahwa penolakan UU P2SK dan penyelenggaraan tapera ini bukan tanpa sebab, tetapi memang sangat merugikan kaum pekerja.
“Jadi, hari ini kita selain konsolidasi, kita menyamakan persepsi terkait bagaimana langkah-langkah perjuangan kita di Banten supaya lebih efektif dalam penolakan P2SK dan tapera,” jelasnya.
Dalam FGD ini, para peserta melakukan pembahasan terkait UU P2SK dan penyelenggaraan tapera. Setelahnya, LKS Tripda Banten Unsur Serikat Pekerja menandatangani hasil pembahasan yang berisikan penolakan dan mempublikasikannya.
“Kalau tapera sudah pasti karena ini program sifatnya memaksa, yang paling ditentang ini kan masalah potongan yang 2,5 persen dan tidak ada kepastian si peserta tapera ini mendapat kepemilikan rumah,” kata Dedi.
Dedi melanjutkan, hasil pembahasan dalam FGD ini akan menjadi rekomendasi untuk para stakeholder.
“Ya kita tadi sampaikan buat rekomendasi tadi ditandatangani oleh seluruh peserta yang hadir, nanti rekomendasi itu kita bawa ke LKS Tripartit nasional, ke menteri keuangan, menteri PUPR,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota LKS Tripda Banten Afif Johan mengungkapkan, pihaknya menolak UU P2SK terutama pada Bab tentang Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).
“UU P2SK ini memang ditolak karena Bab JHT ini nantinya dengan ada UU P2SK itu ada dua akun, ada akun tetap dan ada akun tambahan, sementara kondisi ketenagakerjaan di Indonesia ini belum ideal,” katanya.
Menurutnya, penerapan upah pekerja di Indonesia masih belum ideal. Bahkan, kerap terjadi pelanggaran-perlanggaran terkait upah pekerja.
“Upah juga masih baru menyentuh kebutuhan fisik semata, belum menyentuh kebutuhan sosial, sehingga rentan risiko sosial,” tuturnya.
“Lalu ada problematika antara usia pensiun real di lapangan rata-rata 55 tahun bahkan ada usia pensiun yang 45 tahun seperti pramugari, nah rentang waktu ini kan ketika buruh membutuhkan jaminan hari tuanya yang memang notabene sebagai tabungan mereka tidak bisa mengambil, sementara buruh saat ini belum bisa menabung, sehingga andalannya di tabungan JHT/pensiun,” imbuhnya.
Afif menambahkan, pihaknya juga menolak lantaran terkait JP dengan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) berpotensi menghilangkan kompensasi alias pesangon dari para pekerja.
“Ini semua harus menjadi pertimbangan serius dari pemerintah untuk mengeluarkan klaster ketenagakerjaan Bab JHT dan jaminan pensiun dari UU P2SK,” tegasnya.(Fan)
No Comments